Jakarta – Presiden RI Prabowo Subianto memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ke Istana Negara, Kamis (20/11/2025). Salah satu agenda pembahasan ialah rencana pengoperasian proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan, atau Kilang Balikpapan, yang menjadi proyek strategis nasional di sektor energi.
“Selain melaporkan beberapa agenda, kami juga menyampaikan rencana peresmian RDMP di Kalimantan Timur. Jika diresmikan, insyaallah pada 2026 Indonesia bisa mencapai swasembada solar dan avtur,” ujar Bahlil di Istana Negara, Jumat (21/11/2025).
Bahlil memastikan, kilang terbesar di Indonesia itu dijadwalkan diresmikan pada 17 Desember 2025.
RDMP Balikpapan dikelola PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui anak usahanya, PT Kilang Pertamina Balikpapan (KPB). Proyek ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan kompleksitas kilang agar mampu menghasilkan bahan bakar dengan standar tinggi dan ramah lingkungan.
Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, menjelaskan bahwa sejumlah tahapan penting sudah dilalui. Salah satunya adalah pengoperasian awal unit utama pengolahan, Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) Complex, pada 10 November 2025.
RFCC menjadi jantung kilang untuk menghasilkan produk setara standar Euro V sekaligus meningkatkan efisiensi dan nilai ekonomi produksi.
“RFCC tidak hanya meningkatkan kualitas dan efisiensi, tetapi juga memberi nilai tambah bagi sumber daya alam dalam negeri,” kata Taufik.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyebut investasi Pertamina di proyek RDMP Balikpapan mencapai US$ 7,4 miliar atau sekitar Rp126 triliun.
“Ini merupakan investasi BUMN yang sangat besar pada satu titik kegiatan. Dampaknya signifikan untuk ketahanan energi nasional,” ujar Yuliot.
Kilang Balikpapan akan memiliki kapasitas pengolahan 360 ribu barel per hari, setara 22–25% kebutuhan nasional.
Peningkatan kapasitas sekitar 100 ribu barel per hari diyakini mampu mengurangi impor 10–15%, terutama untuk solar dan avtur.
Kilang ini juga dibekali fasilitas pengolahan residu bernilai rendah menjadi produk petrokimia seperti propylene dan ethylene, yang selama ini banyak diimpor.
Produk tersebut menjadi bahan baku industri strategis di dalam negeri sehingga diharapkan mampu menekan ketergantungan pada produk petrokimia impor.











